All That Glitters Is Not Gold

Share This Post

For Me, Myself, and I

Prakata

Empat tahun belajar Bahasa dan Sastra Inggris menjadikan pikiranku lebih terbuka. Dari sini aku tersadar kalau tidak semua hal yang baik sudah pasti baik. Salah satu mata kuliah yang ku ampu adalah literary critism, kritik karya sastra. Di dalamnya para mahasiswa diajarkan mati-matian untuk berpikir kritis, mengemukakan pendapat mereka dengan logis dan tepat. Mata kuliah ini benar-benar menjadikanku yang siap untuk melawan apabila diperlukan. Kisah ini ada dari buah pikirku sendiri; atas kemuauanku sendiri. Tidak berdasarkan pengaruh orang lain, atau pun buku-buku yang aku baca.

Aku merasa banyak orang pendiam yang akhirnya dicap misterius atau buruk di tengah masyarakat. Tapi, pernah kah kalian bertanya-tanya (Ya, tolong jangan baca dengan nada), bagaimana sebenarnya pandangan atau apa yang ada dalam pikiran orang yang pendiam? Jujur, aku sendiri sering merasa lebih memilih diam dibanding marah karena dicap tidak mau bersosialisasi, atau tidak ramah. Ya, aku sangat ingin marah ketika ada orang yang meledekku. Aku harap kisah ini menjelaskan semuanya tentang orang-orang pendiam, terutama diriku.

Judul All that Glitters is Not Gold diambil karena merupakan metafora dari tidak semua hal berharga benar-benar berharga. Tidak semua orang yang aktif bicara adalah positif, tidak semua orang pendiam negatif. Menulis tentang luka dan parenting di sini tidak menjamin aku akan menjadi orang tua dan manusia yang baik di masa mendatang.

Aku menulis kisah ini sungguh hanya untuk mengeluarkan apa yang kurasakan. Tidak ada maksud untuk menyalahkan, atau mengkritik pihak-pihak yang ada di kisah ini. Pun aku tidak mengharapkan semua pihak yang tergambarkan di sini untuk berubah dan bersikap lebih lembut kepadaku. Jika kamu menerima kisah ini, itu berarti ada hal yang ingin disampaikan kepadamu. Aku ingin kamu tahu bagaimana diri ini melihatmu. Aku ingin kamu tahu apa yang sebenarnya ada di dalam pikiranku. Kalau ingin menolongku: jangan rubah sikapmu setelah membaca kisah ini, jangan meminta maaf kepadaku, minta maaflah ke dirimu. Aku hanya ingin berbagi pandangan.

Alden

Jika ada pribahasa yang bisa mendeskripsikan hidupnya itu adalah; “Hidup segan, mati tak mau.” Hidupnya dipenuhi kontradiksi. Alden sangat menyukai orang lain. Dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam duduk di tengah keramaian mengamati orang-orang yang berlalu lalang seperti seorang penjaga penjara. Ketika teman dekatnya memiliki masalah, Aldenlah yang pertama kali mereka tuju untuk membagi kisah mereka. Bagi teman-temannya dia adalah seorang malaikat yang jatuh ke bumi. Setiap kali orang-orang terdekatnya membutuhkan bantuan, Alden siap membantu. Di kampusnya, ia sering menjadi rebutan teman-temannya untuk diajak bekerja sama dalam tim untuk berbagai tugas dan proyek. Bukan karena Alden mudah dimanfaatkan, tapi karena ia terkenal dengan cara kerjanya yang efektif dan dapat diandalkan.

Tapi, di satu sisi, Alden dapat membenci siapa pun termasuk keluarganya jika menurutnya mereka tidak memberi personal space atau menentang nilai-nilainya. Suatu hari ibunya meminta tolong ke Bi Marie yang merupakan perawat sebuah kecurangan untuk mencetak sertifikat vaksin booster covid. Pada saat itu vaksinasi merupakan syarat wajib bepergian. Keluarganya sudah menjadwalkan untuk mengunjungi beberapa negara Mediterania pada musim panas tahun depan, sementara mereka belum melakukan vaksinasi. Tanpa sepengetahuan Alden, Bi Marie menyetujui permintaan tersebut. Ketika mendengarnya alih-alih merasa bebannya terangkat, Alden justru marah dan menutup pintu hatinya untuk ibunya. Baginya vaksinasi bukan sekedar alat untuk mendapat akses bepergian, tapi sebagai alat penunjang Kesehatan, dan mengurangi resiko menyusahkan orang lain.

Alden merasa dirinya adalah sebuah spons yang dapat menyerap emosi orang-orang di sekitarnya.
Ketika dia menghabiskan waktu untuk berselancar di media sosial, dan mendapati unggahan mengenai kekerasan seksual, atau ketidakadilan yang dilakukan aparat negara Alden bisa merasakan emosi menguasai pikirannya. Pikirnya hanya satu; dia hanya ingin keadilan, dan siap membunuh siapa pun yang menghalanginya menegakkan keadilan. Kebencian memenuhi hatinya. Pada akhirnya setelah menyerap emosi-emosi negatif, ia merasa lelah, dan membutuhkan waktu untuk istirahat.

Ya, Alden bisa saja kehilangan kendali atas emosinya, dan membunuh siapa pun yang menurutnya merendahkan atau berlaku tidak adil. Setelah membunuh mereka, ia akan mengakhiri hidupnya sendiri. Seperti Jo Suk-Bong mengakhiri hidupnya setelah mencoba membunuh orang yang menganiyaya dirinya di serial D.P.

Walau pun memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup, di beberapa kondisi dirinya tentu menolak. Setiap kali Alden berenang dan mencoba menenggelamkan diri, tubuhnya memiliki refleks untuk meraih permukaan. Tapi, ia percaya saat-saat seperti itu adalah di mana akalnya masih bekerja. Apa jadinya kalau dia sudah dikuasai emosi seperti kondisi yang terjadi dengan Jo Suk-Bong? Who knows.

Alden bukanlah satu-satunya orang yang melihat dirinya misterius dan penuh kontradiksi. Suatu malam, ibunya yang lelah pulang bekerja melihatnya sedang sibuk dengan gadget. “Kamu itu, selama 20 tahun hidupmu, mama ga pernah kenal pasti kepribadianmu.” Ucap ibunya sambil memicingkan matanya ke Alden.

Hidupnya terasa manis, tapi juga asam. Terlalu keras, namun lembut di saat yang bersamaan. Seperti sebuah macron.

Komunikasi

Hari itu adalah Minggu sore yang ramai. Alden dan keluarganya baru saja pulang dari kunjungan mereka ke rumah Bi Manec. Jalanan disesaki mobil, seperti hewan ternak yang digiring menuju lumbung. Alden merasa energi nya terkuras habis lantaran bertemu banyak orang. Ibunya mendongakkan kepalanya, dan menatap ke arah kaca spion tengah mobil mereka dan meneriakki seseuatu.

“Alden? K-O-M-U-N-I-K-A-S-I, kalau ada orang cobalah buat mengobrol!”

Ini bukan kali pertama ibunya menegur. Sebelumnya, ketika rumah mereka kedatangan keluarga jauh, Alden memilih diam. Walau pun ia duduk di depan saudaranya.

“Kamu mau tinggal di hutan? Kamu mending tinggal di hutan aja.” Teriak ibunya kesal.

Alden paham, maksud ibunya adalah yang terbaik supaya ia mau bersosialisasi. Faktanya, ucapan tersebut menusuk Alden seperti sebuah pisau. Alden yang sebelumnya altruistik kini lebih sering terlihat murung, dan menanyakan pada dirinya sendiri: “Apakah aku benar-benar tidak bisa bersosialisasi?” Caranya memandang diri berubah total. Setiap ingin mendatangi acara atau komunitas yang ia sukai Alden akan berpikir “Nanti, apakah aku akan diam-diam aja?”

Ketika sendirian, Alden merasa sangat percaya diri. Sangat percaya diri sampai-sampai ia merasa sanggup untuk menyapa dan tersenyum ke setiap orang yang ia temui. Hangat, sehangat matahari pagi. Faktanya, ia seringkali dipercaya untuk menjadi master of ceremony di kampusnya. Tapi, satu ucapan tersebut merubah dirinya. “Apa aku memang orang yang misterius dan pendiam?”

Lukanya tidak sebatas hubungan dengan keluarga, dan orang lain. Ucapan tersebut sudah membekas di pikirannya, dan membuat Alden takut memulai hubungan romantis dengan orang lain. Setiap kali teringat kata-kata “kamu tinggal di hutan aja.” Membuatnya kehilangan percaya diri. Ia ada di titik siap untuk hidup sendirian. “Mungkin mamaku benar, aku sudah seharusnya hidup sendiri, di hutan.” Ucapnya setiap ia merenung. Alden tidak ingin ketidakmampuannya bersosialisasi nantinya akan merugikan orang lain, terutama orang yang paling ia kasihi. Setiap malam ia berdoa kepada Tuhan. “Oh Tuhan, kalau aku memang hanya akan merugikan, dan membawa kesedihan bagi orang lain, lebih baik aku hidup sendiri, tolong jangan buat aku menyukai seorang perempuan, atau jangan Kau buat ada orang yang menyukai ku.”

Menurutnya, setiap akibat pasti ada akibatnya. Di satu titik, Alden memang pendiam. Dia paham hal apa saja yang membuatnya menjadi pendiam. Ketika orang tuanya menanyakan sesuatu, sering kali Alden memilih diam. Menurutnya, untuk apa ia menjawab kalau mereka tidak benar-benar peduli? Untuk apa menjawab kalau pada akhirnya ia hanya akan dikritisi dan diremehkan?

Jalanan sore itu masih padat merayap. Ia memandangi sebuah restoran Tiongkok yang menjual congee. Semua pengunjung makan dengan lahap dan suasana terasa begitu hangat. Alih-alih menjawab ibunya, yang hanya akan memunculkan debat, ia larut dalam pemikirannya.

Bayangkan kamu lapar, tidak punya makanan, dan uang. Tapi kamu masih punya keluarga yang siap berbagi makanan. Kamu bisa bilang kalau butuh makanan, dan pasti keluargamu akan memberinya. Tapi, kalau kamu dalam keadaan kenyang, tidak butuh makan, perlukah merengek-rengek untuk diberi makan? Jika kamu tidak butuh makan, tapi tetap merengek meminta makanan, dan akhirnya keluarga kamu memberi makan, apakah kamu yakin bisa menghabiskan semuanya?

Sama seperti komunikasi, dilakukan supaya orang lain paham apa yang kita butuhkan dan rasakan. Menurutku komunikasi bukan berarti harus banyak bicara, bukan berarti harus serba supel ke orang lain, menanyakan kabar, atau berbasa basi.

Sejak dulu manusia hidup satu sama lain, dan berkomunikasi untuk mencapai tujuan mereka. Untuk dapat berburu misalkan, sekelompok manusia purba tentu memerlukan koordinasi yang tepat. Tapi pernahkah kamu memerhatikan ada banyak konflik yang muncul akibat terlalu banyak bicara? Berapa banyak orang yang merasa hatinya sakit bahkan sampai memilih untuk mengakhiri hidupnya hanya karena ada yang menusuk hatinya lewat perkataan?

Maafkan aku yang tidak pernah berkumpul, dan mengobrol dengan kalian. Maafkan aku yang terlalu sentimental dan baper. Setiap kali aku mencoba berbicara dengan kalian, yang muncul hanyalah perdebatan yang membuatku ingin teriak, dan mencaci. Tapi aku tidak bisa melakukannya, dan memilih diam.

Aku setuju, di luar sana banyak orang-orang toxic. Tapi menurutku keluarga seharusnya ada sebagai zona aman untuk berkembang supaya seorang anak bisa menumbuhkan rasa percaya dirinya untuk berkomunikasi, bukan dilucuti. Kalau bukan keluarga yang membantu seorang anak tumbuh percaya diri untuk berkomunikasi, siapa lagi? Di sinilah bahaya bisa muncul. Ketika seorang anak merasa tidak dihargai di keluarga, dan di masyarakat, ia bisa saja menarik diri, atau bahkan mengakhiri hidupnya.

Waktu Tidak Menyembuhkan

Alden merasa hubungannya dengan orang tuanya tidak pernah dekat. Ibunya pernah berkata kalau Alden adalah cobaan terberat untuknya, dan selama 20 tahun Alden hidup ia tidak pernah memahami kepribadiannya.

Sejak Aden kecil, untuk mengontrol prilakunya, Ibunya banyak memberi contoh anggota keluarga nya yang gagal, tidak mendapat jodoh, hanya karena tidak menuruti orang tua mereka. Bahkan, Etienne, pamannya juga menceritakan pentingnya memuliakan orang tua. Alden ingat bagaimana ibunya mencontohkan beberapa anggota keluarganya yang sekarang hidup susah, dan tidak mendapat jodoh bahkan di umurnya yang sudah lebih dari setengah abad.

Ibu Alden adalah seorang wanita karir yang ringan tangan di tengah-tengah masyarakat. Banyak pekerjaan sosial yang diambil oleh ibunya. Setiap hari, sepulang bekerja ia akan menyibuki diri seperti
seekor lebah dengan mencatat arus keuangan dari iuran para warga. Tentu ibunya adalah manusia juga. Bola matanya berguling dari dari kiri, ke atas, dan ke kanan setiap kali ada orang yang datang ke rumahnya, padahal ia baru saja bersiap untuk bersantai dan menyesap kuah sukiyaki yang dibuat Alden. Ibunya selalu siap mempertahankan idealisme, ia juga adalah orang yang penyayang dan perhatian. Karena ia mengambil banyak kegiatan yang membuat fokusnya terpecah belah, ketika sangat lelah, ibunya memilih membentak untuk mendisiplinkan Alden dan adiknya. Mengancam mereka, atau bahkan menyumpahi.

Dibalik karakternya yang seperti social butterfly dan childish ibunya menyimpan luka. Alden ingat bagaimana semasa sekolah ibunya sering menjadi korban perundungan. Ibunya terdengar seperti seorang yang akan balas dendam ketika menceritakan Kembali kisah kelamnya itu. Topeng sifatnya yang penolong dan ceria, ibunya memiliki luka menjadikannya orang yang tidak percaya diri, banyak merasa insecure. Jika ada orang yang memasarkan produk dan menawarkannya kepada ibunya dengan memunculkan kekurangannya, ia sudah dipastikan membeli barang tersebut.

Ayahnya putus kuliah hanya untuk membiayai Alden, hingga saat ini pekerjaanya tidak tetap, hanya bekerja berdasarkan project. Alden selalu penasaran apakah ayahnya dipenuhi rasa bersalah dan tidak berguna? Belum lama ini ayahnya meminta diajarkan bahasa inggris, tapi Alden merasa tidak mampu karena malu. Malu selama ini dianggap buruk oleh mereka.

Alden ingat bagaimana dulu ibunya mengancam untuk melaporkan kepada gurunya setiap kali ia bersikap nakal di rumah, tapi sangat sopan di sekolah (berkebalikan). Alden juga memiliki keinginan untuk tinggal jauh dari orang tuanya. Dahulu ia tidak paham apa alasannya, tapi kini, ia paham ternyata selama berada dekat keluarganya ia merasa buruk. Perasaan buruk inilah yang membuatnya berkecil hati akan segala hal. Membuatnya seolah-olah adalah orang paling bersalah di dunia. Terkadang yang ia ingin dengar hanya: “Ya, kamu tidak salah, yang salah dia,” atau sekedar kata-kata afirmasi lainnya. Mungkin ibunya benar, Alden sangat sensitif, sangat baper.

Perasaan “buruk” dan bersalah tersebut datang dari sikap orang tua Alden yang sering merendahkannya. Ketika baru bangun, dimana hari baru dimulai, di pagi hari yang segar, ketika otaknya baru akan mulai bekerja, Alden sudah dijejali dengan berbagai serapah dan komentar buruk. “Kamu kalo tidur kok berantakan, itu seprainya, bantalnya ada di mana-mana.” Atau sekedar melakukan body shaming “Ya ampun, itu perut gendutnya keliatan,” “iler nya ke mana-mana itu.” Orangtua nya tentu pernah memujinya, tapi setiap hari, mereka sering mengulangi sumpah serapah buruk mereka dan menyemprotinya dengan berbagai kekurangan yang ia miliki. Pada akhirnya Alden tidak percaya afirmasi mereka. Menurutnya, dalam memuji mereka tidak terasa jujur.

Alden menerima kekurangan mereka semua, dan tidak menyalahkan. Di luar kekurangan mereka, orangtuanya adalah yang terbaik. Alden ingat bagaimana orangtuanya akan berusaha untuk mengabuli semua keinginannya. Alden selalu ingat bagaimana mereka bekerja keras untuk meningkatkan kualitas hidup anak-anaknya. Alden paham kalau mereka adalah korban. Mungkin mereka tumbuh di masa dimana Kesehatan mental belum dianggap serius. Mereka tumbuh dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan. Mereka tumbuh di lingkungan keras yang memaksa mereka menyembunyikan luka, dan emosi negatif.

Alden mau mereka paham apa yang ada di pikirannya, ia ingin lebih dihargai dan didengarkan. Apakah
dia ingin meminta maaf? Ya, tentu, tapi ia juga berpendapat kalau minta maaf bukan hanya kewajiban seorang anak. Di satu sisi, anak-anak memang menyebabkan sakit kepala luar biasa bagi orang tua mereka, tapi mereka juga menanggung luka yang belum sembuh dari orangtuanya. Tidak jarang anak-anak ini nantinya akan mewarisi juga luka yang sama ke anak-anaknya dan menciptakan perputaran luka yang tiada akhir. Alden setuju kalau anak memang harus meminta maaf tapi, jika berperan sebagai orang tua, tentu ia akan lebih dulu meminta maaf. Karena menurutnya menjadi orang tua bukan berarti menjadi Tuhan yang segala perkataan dan pendapatnya tidak bisa ditentang. Alden tidak ingin anaknya memiliki pemikiran “kalau aku ngga nurut sama orang tuaku, aku akan gagal dunia akhirat,” Ia juga ingin anak-anaknya berpikir “Aku akan menceritakannya ke Papa/Mamaku.” Dibanding “Aku tidak akan membiarkan orang tuaku tau.” Tidak ada orang tua yang sempurna, tentu. Menulis pandangannya tentang luka orang tuanya tidak akan menjamin Alden bisa menjadi orang tua yang baik di masa mendatang.

Kalau ada hal yang sangat ingin Alden sampaikan ke mereka itu adalah:

Aku merasa diriku adalah seorang aktor yang memerankan karakter antagonis. Penjahat yang diakhir cerita selalu dikalahkan oleh karakter utama sang pahlawan kebenaran. Walau pun tahu nasib karakternya akan buruk, aku tetap harus memainkannya.

Mungkin kamu menang karena aku selalu mengikuti apa mau mu, tapi kamu tidak pernah memenangkan hatiku. Perasaan tidak terima dan amarah akan selalu ada seperti api yang tidak dapat dipadamkan setiap kali kau memaksaku melakukan sesuatu dengan amarah.

Aku siap menerima konsekuensi dicap buruk, disumpahi tidak mendapat jodoh, dan memiliki karir yang mandek. Itu berarti tidak peduli seburuk apa kalian melabeliku, membenci sikap ku, aku akan dengan lapang dada menerimanya. Sekali pun kalian ingin membunuhku karena tidak memiliki pemikiran yang sepahaman.

Maafkan aku yang tidak pernah bisa menjadi anak ideal bagi kalian. Aku sudah lelah dengan labelling dan identitas. Terkadang 2 hal ini membuatku stress dan overthinking. Untuk membantu mengurangi stress, aku belajar untuk tidak peduli. Jadi, jika kalian menemuiku memberontak atau menolak ketika kalian memaksaku melakukan sesuatu dengan alasan “orang lain” “nanti dikira sombong,” “kalo begitu diliat orang lain gimana?” dan lain-lain, aku tidak akan peduli.

Apa yang ku rasakan adalah sikap melabeli atau judging akan menimbulkan sebuah identitas kepada penerimanya. Otak manusia bekerja dalam sebuah pola. Jika mendapati pola yang tidak sesuai (identitas), maka otak akan menolaknya. Ketika orang percaya dirinya cerdas, dia akan menolak orang yang mengatakan kalau ia bodoh. Hasilnya? Orang itu akan matimatian bersikap sok pintar, dan menolak untuk belajar lebih hanya karena ia merasa cerdas.

Aku sering dilabeli pemberontak, nakal, bodoh, bukan ahli ibadah, dan pendiam. Label ini sepertinya telah melekat dalam diriku, sehingga siapa pun yang menganggapku memiliki sikap berkebalikan akan ku tolak.

Ada hal lain juga yang membuatku tidak nyaman setiap ada orang yang memandangku positif. Misalnya: aku tidak ingin dicap jadi orang ahli ibadah atau rajin belajar, karena faktanya aku orang jahat yang masih malas belajar. aku tidak ingin 2 hal itu jadi identitas diriku, menjadikan ku tidak terima kalau ibadahku tidak sebanyak orang lain, aku tidak mau menjadi orang yg menganggap orang lain buruk hanya karena aku sering ibadah & sering belajar.

Mengakui kalau aku bukan ahli ibadah dan orang yang rajin justru menjadikan ku sebaliknya. Aku menjadi lebih sering berdoa kepada Tuhan untuk dilindungi supaya aku tidak melakukan kejahatan yang merugikan dan mencelakakan orang lain, aku justru merasa ibadahku tulus, bukan untuk mendapat cap “ahli ibadah” dari orang-orang. Aku justru merasa kalau belajar adalah hal yg menyenangkan, tidak perlu berpikiran “aku akan kalah nilainya dari dia” aku justru senang mendapat insight baru setiap belajar, dan itu sangat menyenangkan.

Sepanjang hidupku, aku sudah bertemu dengan orang-orang yang rajin ibadah, penghafal al-Quran, rajin belajar, tapi justru menganggap rendah mereka yang tidak serajin mereka. Menurutku ini salahnya, ketika kita percaya identitas diri kita dan memvalidasi bahwa identitas tersebut adalah yang terbaik, kita menutup mata dan hati terhadap mereka yang tidak sejalan dengan kita, kita cenderung sombong dan melabel mereka buruk.

Teruntuk keluarga dan orangtuaku, Terima kasih sudah merawatku, terima kasih sudah mengajari kalau menjadi pendiam tidak selalu buruk, dan menjadi aktif tidak selalu positif, terima kasih sudah mengajari kalau menjadi orang tua butuh persiapan yang panjang, terima kasih sudah menunjukkan luka-luka pada diriku sehingga aku punya kesempatan untuk menyembuhkannya lebih awal. Terima kasih sudah berjuang dan bertahan selama 22 tahun kebelakang.

Dari kalian aku belajar jika kenal dengan seseorang bukan sekedar tahu di mana ia tinggal, seperti apa kebiasaannya, tapi juga mengenal sisi gelapnya, dan kekurangannya. Memiliki kekurangan adalah hal yang wajar untuk setiap orang. Memiliki kekurangan bukan berarti kita harus menutupinya, tapi cobalah untuk menerimanya.

Terakhir, ada pepatah Arab yang mengatakan “Dengan ujian seseorang dinaikkan derajatnya, atau dihinakan.” Karena aku adalah cobaan terberat bagi kalian, mudahmudahan Tuhan mengampuni dan menaikkan derajat kalian.

#GlowUp Bareng yuk

Level up dirimu dengan subscribe

Lanjut baca

Uncategorized

All That Glitters Is Not Gold

For Me, Myself, and I Prakata Empat tahun belajar Bahasa dan Sastra Inggris menjadikan pikiranku lebih terbuka. Dari sini aku tersadar kalau tidak semua hal